Dari Sabang sampai Merauke…
Berjejer pulau-pulau….
Sambung menyembung menjadi satu…
Itulah Indonesia…
Salah satu lagu yang dulu pernah kita hafal. Saya pernah bertanya
kepada salah seorang kawan Korea, “Hey, what is the famous place or
building that symbolize your country? Like Taj-Mahal is in India”. Dia
pun berfikir sejenak, lalu menjawab “hmmm….I don’t know”. Lalu dia balik
bertanya, “what is your country looks like?”. Saya jawab, “Do you know
Borobudur?”. Dia jawab, “No”.”Ok, Do you know Bali?”. Dia jawab, “Yes”.
“It is just one island that Indonesia has”. Lalu kutunjukkan peta
Indonesia sembari kembali bertanya “Do you how many islands that
Indonesia has?”. Dia menggelengkan kepala. “about 17.000 islands.
Indonesia also has about 67 dialect with more than 300 languages”. Dia
jawab “wow”…
Itu hanya sepenggal kisah bahwasanya negri kita ini terdiri dari
ribuan pulau. Mungkin, jika hilang satu pulau saja, kita masih punya
banyak. Namun walupun demikian, kita tetap geger ketika salah satu pulau
lepas dari NKRI. Nah berikut ini adalah kisah yang mungkin baru kita
ketahui saat ini (buat saya khususnya), bahwasanya ada sebuah desa yang
hilang dari permukaan bumi pertiwi. Desa tersebut bernama desa Legetan,
yang terletak di lembah gunung Dieng. Cerita ini awalnya saya dapatkan
dari seorang teman. Lalu saya kembangkan dengan mencari sumber-sumber
lainnya seperti media elektronik, forum, dsb). Kok bisa hilang? Kenapa?
bagaimana ceritanya? Silahkan baca tulisan di bawah ini.
———————————————–
Sebagian orang mengira kisah itu hanyalah hoax. Kenyataannya, itu
adalah nyata. Perhatikan tulisan jurnalis trans TV yang hendak
mengisahkan kejadian ini di acaranya:
“Beautiful, Misty and Mysterous. Cantik, berkabut dan misterius.
Begitulah gambaran Pak Agus tentang alam Dieng. Contoh kemisteriusannya
adalah bencana yang menimpa Dukuh Legetang. Sebetulnya jarak antara
gunung dan desa itu jauh, sehingga sulit diterima akal bahwa tanah
longsor itu bisa menimpa desa. Jadi, tanah itu seolah-olah terbang dari
gunung, dan menimpa desa. Ada cerita, bahwa banyak penduduk desa itu
yang berperilaku tidak benar. Mirip kisah Soddom dan Gomorah, ujar Pak
Agus waktu itu.” “Maka, kami berempat akhirnya mendaki bukit. Agar tidak
membebani Komar, Dian dan Yossie dalam pendakian ini, sengaja aku
memanggul tripod. Jalan yang kami lalui sebenarnya cukup lebar, tapi
persoalannya terletak di kecuramannya itu. Kami mendaki pelan-pelan
sekitar seperempat jam, dengan beberapa kali berhenti. Akhirnya, tugu
itu pun tampak. Ternyata lama pendakian tidak sampai setengah jam. Ada
rasa lega, bahwa pendakian ini ternyata tidak seberat yang dibayangkan.
Ibu petani kentang itu tampaknya kurang pas memperkirakan waktu. Kami
pun mengambil gambar untuk liputan, ditambah sedikit foto untuk
kenangan. Untunglah, Yossie selalu membawa kamera digital. “
—
Salah satu media elektronik juga mengabarkan berita ini (
http://222.124.164.132/web/detail.php?sid=208556&actmenu=35)
TRAGEDI LENYAPNYA DESA LEGETANG DI DIENG ; Longsoran Tanah
Bisa ’Terbang’
08/02/2010 08:31:40
Tugu beton yang sudah lapuk dimakan usia masih berdiri tegak di
tengah ladang di desa Pekasiran di pegunungan Dieng Kecamatan Batur,
Banjarnegara. Tapi tugu setinggi sekitar 10 meter itu jadi penanda
tragedi dan misteri terkuburnya dusun Legetang bersama seluruh
penghuninya akibat longsornya Pengamunamun pada 1958.
Data pada pahatan monumen marmer di pertigaan Desa Kepakisan,
tetangga Pekasiran, menuju ke objek wisata kawah Sileri menyebutkan,
jumlah korban jiwa 450 orang. Jauh melebihi korban tewas akibat bencana
gas beracun kawah Sinila tahun 1979 yang merenggut 149 nyawa dan menjadi
perhatian dunia internasional itu merenggut 149 nyawa.
Salah seorang saksi tragedi Legetang, Suhuri warga Pekasiran RT 03/04
yang kini berusia sekitar 72 tahun mengatakan, musibah terjadi malam
hari pukul 23.00 saat musim hujan. ”Saya dan beberapa teman malam itu
tidur di masjid. Saya baru dengar kabar gunung Pengamunamun longsor jam
tiga pagi,” katanya. Suhuri mengaku lemas seketika begitu mendengar
kabar tersebut, karena kakak kandungnya, Ahmad Ahyar, bersama istri dan 6
anaknya tinggal di dusun Legetang. Namun Suhuri maupun keluarganya dan
warga lain tak berani langsung ke dusun yang berjarak sekitar 800 meter
dari pusat desa Pekasiran, karena beredar kabar tanah dari lereng gunung
Pengamunamun masih terus bergerak.
Lenyapnya desa Legetang dan penghuninya juga menyimpan misteri,
karena Suhuri dan beberapa warga Desa Pekasiran lain seusianya yang kini
masih hidup mengatakan, antara kaki gunung sampai perbatasan kawasan
pemukiman di dusun itu sama sekali tidak tertimbun, padahal jaraknya
beberapa ratus meter. ”Longsoran tanah itu seperti terbang dari lereng
gunung dan jatuh tepat di pemukiman. Sangat aneh”, kata Suhuri sembari
menjelaskan, gejala lereng gunung akan longsor sudak diketahui 70 hari
sebelum kejadian. Para pencari rumput pakan ternak dan kayu bakar untuk
mengasap tembakau rajangan di samping untuk memasak, melihat ada retakan
memanjang dan cukup dalam di tempat itu. Tapi tanda-tanda tadi tak
membuat orang waspada, meski sering jadi bahan obrolan di Legetang.
Orang baru menghubung-hubungkan soal retakan di gunung itu setelah
Legetang kiamat,” katanya.
Waktu itu semua orang tercengang dan suasana mencekam melihat seluruh
kawasan dusun Legetang terkubur longsoran tanah. Tak ada sedikit pun
bagian rumah yang kelihatan. Tanda-tanda kehidupan penghuninya juga tak
ada, kenang Suhuri. ”Alam Legetang sebagian besar cekung. Tanah dari
lereng gunung seakan diuruk ke cekungan itu dan meninggi dibanding tanah
asli disekitarnya. Banyak warga yang dibiarkan terkubur karena sulit
dievakuasi,” ujar Suhuri.
Pencarian terhadap korban, menurut Suhuri, hanya dipusatkan ke titik
yang diduga merupakan lokasi rumah bau (kepala dusun) Legetang bernama
Rana. Setelah dilakukan penggalian cukup lama oleh warga. Tapi tak
sedikit para korban dibiarkan terkubur, karena amat sulit dievakuasi.
Satu istri Rana lainnya, bernama Kastari, satu-satunya warga Legetang
yang selamat, karena ia pergi dari rumah sebelum gunung itu longsor.
Kini tanah lokasi bencana itu sedikit demi sedikit digarap warga
untuk budidaya tembakau dan sayur. Sekitar 1980, ketika kentang
menggusur tanaman tembakau dan jagung di pegunungan Dieng, bekas dusun
Legetang pun berubah jadi ladang kentang dan kobis, termasuk tanah
kuburan umum milik bekas dusun tersebut.